Melakukan pekerjaan yang tidak disukai memang menyebalkan. Alasannya tidak selalu karena pekerjaannya yang berat, tapi karena perasaan saat melakukan pekerjaan tesebut. Ini yang Yunus rasakan ketika harus memberitakan seruan pertobatan kepada penduduk Niniwe. Bukan tanpa sebab Yunus tidak mau melakukannya, ia membenci orang Niniwe. Mereka adalah bangsa yang terkenal sangat kejam dan pernah memperlakukan bangsa Israel dengan buruk. Ketika seruan pertobatan diresponi positif oleh orang Niniwe, hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, ia menjadi marah. Ia tidak senang jika orang Niniwe berbalik dari keberdosaannya dan diselamatkan Allah, bahkan Alkitab berkata setelah Yunus melakukan tugasnya, tinggallah ia di sebelah timur Niniwe menantikan apa yang akan terjadi atas kota itu.
Mari sejenak bayangkan jika kita berada pada posisi Yunus. Membiarkan 
orang berdosa binasa sepertinya lebih mudah daripada harus susah payah 
menyelamatkannya. Ini karena Yunus sulit mengasihi bangsa yang 
dibencinya, sedangkan Allah adalah Sang Pengasih. Mengasihi seharusnya 
menjadi hal yang natural mengalir dari dasar hati kita sebagai 
anak-anak-Nya. Jadi ketika hati kita sulit mengasihi, sedangkan ada 
paksaan untuk mengasihi, disitulah letak pergumulannya. Yesus mengetahui
 hal itu, maka Ia berkata, ?Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi 
kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian??. 
Mengasihi orang yang mengasihi kita bukanlah perilaku yang istimewa. 
Mengasihi orang baik itu biasa, membenci orang jahat dianggap normal. 
Justru melalui kisah Yunus, Tuhan ingin mengajarkan kita untuk berjuang 
keras mengatasi perasaan benci, rasa tidak suka, rasa muak, rasa sebal 
kepada siapapun agar kasih memiliki ruang untuk bekerja. Milikillah hati
 seperti Allah yang mau mengasihi tanpa syarat walaupun kepada 
?orang-orang Niniwe? yang berbuat jahat dalam kebodohannya.